
Jakarta, DETEKSIJAYA.COM – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhkan vonis 1 tahun kepada Marthen Napang, terdakwa dalam kasus pemalsuan surat putusan Mahkamah Agung (MA), pada Rabu (12/3/2025).
Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan hukuman 4 tahun penjara.
Marthen Napang, yang berusia 67 tahun, tidak dijatuhi hukuman penahanan selama proses persidangan, mengingat usianya yang lanjut. Hukuman 1 tahun penjara yang dijatuhkan juga akan dipotong dengan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa.
Majelis Hakim, yang dipimpin oleh Ketua Hakim Buyung Dwikora, menilai bahwa dari tiga dakwaan yang disampaikan JPU yakni penipuan (Pasal 378 KUHP), penggelapan (Pasal 372), dan pemalsuan dokumen (Pasal 263) ini lebih cenderung kepada dakwaan penipuan, dengan ancaman pidana 4 tahun. Meskipun begitu, pengadilan tampaknya mengabaikan aspek pemalsuan putusan MA yang dianggap menjadi perbuatan yang lebih berat.

Dalam amar putusannya, hakim menolak semua pembelaan yang disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa, yang mengindikasikan bahwa dakwaan terhadap terdakwa dianggap sah adanya. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan Marthen Napang telah merugikan Dr. John Palinggi, yang mengalami kerugian materiil sebesar Rp950 juta.
Dr. John Palinggi, yang juga Ketua Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) dan mediator non-hakim, mengungkapkan kekecewaannya dengan keputusan tersebut. Ia menyatakan bahwa meskipun uang yang hilang tidak akan kembali, yang lebih penting adalah kehormatan Mahkamah Agung yang telah tercemar oleh tindakan pemalsuan putusan tersebut.
“Sejak awal saya tahu uang saya tidak akan kembali, namun yang saya perjuangkan adalah marwah MA yang telah dicabik-cabik oleh terdakwa,” kata John Palinggi usai mengikuti persidangan. Ia menyesalkan bahwa pemalsuan putusan MA tidak mendapatkan perhatian serius dari hakim, meskipun ini adalah tindakan yang sangat merusak reputasi lembaga hukum tertinggi di Indonesia.
John menegaskan, Ikhtiar Presiden Prabowo dalam membangun untuk bangsa dan negara, itu didasarkan atas hukum, ibarat kata kalau polisi lancar, jaksa lancar sesuai hukum yang berlaku. “Tetapi ada oknum yang telah mencabik-cabik harga diri MA saya sungguh prihatin dan sangat menyesalkan akan hal itu,” tegasnya.
Lanjut John, dirinya hanya berjuang semata-mata untuk MA tidak lain, siapapun di negara harus menghormati MA. “Anehnya ada yang palsukan putusan MA kok tidak ada yang peduli. Mengapa justru pemalsuan putusan MA sebagai masalah yang berat diabaikan oleh hakim. Ini tidak benar,” ungkapnya.
Jhon menambahkan, Mungkin terdakwa sudah menipunya, tapi yang lebih berat lagi, terdakwa telah mencoreng nama baik MA, sebuah lembaga yang mulia sebagai benteng penegakkan hukum di Indonesia. “Tapi, hakim kok kenapa tidak berpikir begitu seolah membiarkan saja kasus pemalsuan putusan MA berlangsung?” tanya Jhon Palinggi.
Menurutnya, dalam penegakkan hukum di Indonesia tidak akan bisa berjalan dengan benar. “Karena ulah oknum-oknum seperti ini sulit dicapai penegakkan hukum yang hakiki,” tandas John.
Senada dengan Palinggi, kuasa hukum korban, Muhammad Iqbal, juga menyatakan keprihatinannya terhadap pandangan hakim yang lebih memfokuskan pada penipuan, dan bukan pada pemalsuan putusan MA.
Iqbal menilai bahwa hakim seharusnya lebih memerhatikan dampak besar dari pemalsuan dokumen tersebut, yang dianggap sebagai tindakan yang jauh lebih serius.
Marthen Napang sendiri diketahui merupakan seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar dan pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur (STT Intim) di Makassar.
Tindakan yang dilakukan oleh seorang akademisi seharusnya menjadi contoh, bukan malah mencoreng nama baik institusi hukum, menurut banyak pihak.
Menyusul putusan tersebut, baik kuasa hukum Marthen Napang maupun JPU menyatakan akan mengajukan banding terhadap vonis yang dijatuhkan. Sebuah langkah yang diyakini akan terus menarik perhatian masyarakat terkait penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam kasus yang melibatkan pemalsuan dokumen yang merusak integritas lembaga seperti MA. (Ramdhani)