
Jakarta, DETEKSIJAYA.COM – Guru Besar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia (HAM), Prof. Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH, mengkritisi ketentuan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, khususnya terkait Pasal 100 ayat 1, yang mewajibkan Hakim untuk memutuskan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Hal ini disampaikan Prof. Binsar Gultom saat wawancara eksklusif bersama Syamsul Bahri, Ketua Umum Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung Republik Indonesia (FORSIMEMA-RI), di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, pada Jumat, (7/3/2025).
Menurut, Prof. Binsar, bahwa aturan dalam KUHP baru tersebut memiliki banyak ambiguitas yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, terutama terkait dengan klausul masa percobaan 10 tahun.
“Pertanyaan pertama yang muncul adalah: Bagaimana hakim bisa memastikan bahwa seorang terdakwa benar-benar menyesal dan dapat berubah selama proses persidangan? Bagaimana seseorang bisa diperbaiki dalam waktu singkat selama masa percobaan ini?” ungkap Prof. Binsar.
Ambiguitas kedua terkait dengan apakah hukuman mati benar-benar perlu dijatuhkan apabila terdakwa tidak mengulangi perbuatan pidana selama masa percobaan 10 tahun. Prof. Binsar menegaskan bahwa selama masa penahanan di rumah tahanan, sangat kecil kemungkinan terdakwa dapat mengulangi tindak pidana.
Prof. Binsar juga menyampaikan keprihatinannya terkait mekanisme evaluasi terhadap terpidana mati, terutama pasal 101 KUHP yang menyatakan bahwa setelah grasi ditolak oleh Presiden, eksekusi harus segera dilakukan. Menurutnya, penundaan eksekusi hingga 10 tahun sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip HAM.
“Eksekusi harus dilakukan segera setelah grasi ditolak, tanpa harus menunggu selama itu. Ini bisa menyiksa batin terpidana, dan itu melanggar hak asasi mereka,” tegasnya.
Selain itu, Prof. Binsar menyoroti kemungkinan adanya intervensi politik dalam pelaksanaan hukuman mati setelah penolakan grasi. “Dengan aturan seperti ini, ada potensi ketidaktegasan dari pemerintah. Mengapa harus menunggu begitu lama untuk melakukan eksekusi? Ini bisa menciptakan kesan bahwa pelaksanaan hukuman mati lebih dipengaruhi oleh faktor politik,” tambahnya.
Prof. Binsar juga mengkritisi Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang peran otak intelektual dalam tindak pidana. Menurutnya, orang yang bertindak atas perintah atau dalam keadaan terpaksa tidak seharusnya dijatuhi hukuman mati. Sebaliknya, otak intelektual atau pihak yang merencanakan kejahatan seharusnya yang mendapat hukuman lebih berat.
Prof. Binsar menekankan pentingnya kajian lebih dalam terkait Pasal 100 hingga Pasal 102 dalam KUHP yang baru. Menurutnya, jika aturan tersebut diterapkan tanpa kajian lebih lanjut, akan menimbulkan multi-tafsir yang dapat membingungkan aparat penegak hukum dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
“Pidana mati harus tegas. Jika seseorang divonis mati, maka eksekusi harus dilakukan tanpa menunggu waktu yang lama. Namun, jika ada harapan bahwa terpidana bisa berubah menjadi orang baik, maka seharusnya dia mendapat hukuman seumur hidup,” pungkasnya.
Dalam menghadapi perdebatan mengenai pasal-pasal ini, Prof. Binsar berharap agar pemerintah dan para pemangku kebijakan dapat meninjau kembali aturan-aturan dalam KUHP yang baru dan mempercepat pembentukan undang-undang tentang tata cara pelaksanaan pidana mati sebelum masa berlaku KUHP baru pada 2 Januari 2026. (Ramdhani)