
Jakarta, DETEKSIJAYA.COM – Langkah-langkah reformasi yang diambil oleh Mahkamah Agung (MA) dalam beberapa tahun terakhir berhasil menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan pencari keadilan.
Dengan penerapan berbagai kebijakan baru, MA menunjukkan komitmennya dalam memberikan layanan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Reformasi Peradilan yang dimulai sejak 2009, sebagai bagian dari cetak biru peradilan 2010-2035, telah menghasilkan perubahan signifikan dalam penanganan perkara.
Sebelumnya, proses penanganan perkara kasasi memakan waktu bertahun-tahun, namun dengan adanya kebijakan yang mengatur tenggat waktu, perkara kasasi kini dapat diselesaikan dalam waktu maksimal satu tahun. Diikuti dengan kebijakan pada 2014 yang mengurangi waktu penyelesaian perkara kasasi dan peninjauan kembali menjadi paling lama 250 hari.
Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung, di mana hakim yang menangani perkara memiliki keahlian khusus, turut mempercepat penyelesaian perkara. Pada 2024, pengiriman berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali dilakukan secara elektronik, yang semakin memperlancar alur kerja dan meminimalkan kendala administratif yang sebelumnya sering terjadi, seperti kehilangan berkas.
“Dengan sistem elektronik, seluruh dokumen dapat dikirim, disimpan, dan diakses secara digital, memastikan tidak ada lagi berkas fisik yang hilang atau terselip. Integrasi antarinstansi juga lebih lancar, yang mempercepat penyelesaian perkara,” ujar Riki Perdana Raya Waruwu, Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA, Kamis, (27/3/2025).
Hasil dari reformasi ini dapat dilihat dalam data 2024, di mana sebanyak 99,17% perkara kasasi berhasil diselesaikan dalam waktu kurang dari 90 hari. Hal ini membuktikan bahwa teknologi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memberikan kepastian hukum yang lebih cepat bagi masyarakat.
Reformasi di pengadilan juga mengalami perkembangan yang signifikan. Pada 1992, Mahkamah Agung menerbitkan kebijakan yang mengatur bahwa perkara di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus diselesaikan dalam waktu enam bulan. Seiring waktu, pada 2014, kebijakan tersebut disesuaikan dengan menetapkan waktu penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama maksimal lima bulan dan di tingkat banding tiga bulan.
Salah satu pencapaian terbesar adalah meningkatnya penggunaan sistem e-court, yang mempercepat penyelesaian perkara, terutama perkara perdata. Pada 2024, rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri adalah 86,5 hari, di Pengadilan Agama 34,8 hari, dan di PTUN 102,39 hari.
Reformasi ini juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan mekanisme gugatan sederhana. Pada 2024, jumlah perkara gugatan sederhana meningkat pesat menjadi 11.933 perkara, menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan alternatif penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan efisien.
Selain itu, keberhasilan mediasi juga menunjukkan kemajuan signifikan. Pada 2024, keberhasilan mediasi mencapai 28,65%, angka tertinggi sepanjang sejarah, yang membantu mengurangi beban perkara di pengadilan dan membangun hubungan yang lebih baik antar pihak yang bersengketa.
Kepercayaan publik terhadap pengadilan juga meningkat, tercermin dari data akseptabilitas putusan. Pada 2024, akseptabilitas putusan perdata di Pengadilan Negeri mencapai 78,5%, sementara untuk perkara pidana yang sering menjadi sorotan, akseptabilitas mencapai 85,9%. Hal ini menunjukkan penerimaan yang tinggi terhadap keputusan hakim, tanpa adanya upaya hukum lebih lanjut dari para pihak.
Peningkatan jumlah perkara yang diajukan juga menjadi indikator meningkatnya kepercayaan masyarakat. Pada 2024, jumlah perkara perdata dan gugatan sederhana yang diajukan mencapai 115.086 perkara, lebih tinggi dari 111.576 perkara pada tahun sebelumnya.
“Langkah-langkah reformasi yang telah diambil berhasil menciptakan lingkungan peradilan yang lebih transparan, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” tambah Waruwu.
Reformasi yang terus berlanjut ini membuktikan bahwa Mahkamah Agung berkomitmen untuk memperkuat fungsi peradilan, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki akuntabilitas pengadilan, yang pada akhirnya memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. (Ramdhani)