
Jakarta, DETEKSIJAYA.COM – Belum lama ini, penetapan status tersangka oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpandan dan PN Dompu menjadi sorotan publik, baik di kalangan praktisi hukum maupun masyarakat.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar terkait kewenangan hakim dalam menetapkan status tersangka, terutama setelah terbitnya Pasal 36 butir d UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang memberikan kewenangan tersebut kepada hakim tanpa mengatur pelaksanaannya secara rinci.
Dr. Djuyamto SH, MH, seorang hakim dan juga sebagai Humas PN Jakarta Selatan, menilai bahwa perlunya segera diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.
Menurut Sekretaris Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) Bidang Advokasi Hakim itu, tanpa adanya aturan yang jelas, banyak pihak yang terlibat, baik hakim, jaksa, maupun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, akan mengalami kebingungan mengenai langkah hukum selanjutnya.
“Salah satu pertanyaan utama yang muncul adalah apakah penyidikan perlu dilanjutkan setelah penetapan status tersangka oleh hakim,” kata Dr. Djuyamto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/4/2025).
Selain itu, apakah pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh hakim berhak mengajukan praperadilan untuk menguji keputusan tersebut? Pelaksanaan kewenangan ini juga menimbulkan keraguan mengenai peran jaksa sebagai eksekutor dalam proses hukum selanjutnya.
Dalam konteks ini, Dr. Djuyamto mengingatkan pentingnya pengaturan yang lebih rinci terkait kewenangan hakim untuk menetapkan status tersangka. “Penetapan status tersangka oleh hakim tanpa pedoman yang jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan hak-hak tersangka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Djuyamto mengungkapkan bahwa PERMA yang diusulkan tidak hanya akan memberikan kejelasan prosedur hukum, tetapi juga akan menjadi langkah penting bagi pembaruan hukum acara di Indonesia. Selain itu, penerbitan PERMA juga akan memperkuat peran MA dalam menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM), memastikan bahwa sistem peradilan berfungsi dengan adil dan transparan.
“PERMA ini sangat penting untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul pasca penetapan status tersangka oleh hakim, serta memberikan legasi positif bagi lembaga Yudikatif dalam upaya penegakan hukum yang lebih substansial,” tambah Djuyamto.
Dengan urgensi yang semakin mendesak, diharapkan MA RI segera merespons dengan mengeluarkan PERMA yang mengatur pelaksanaan kewenangan hakim dalam menetapkan status tersangka, demi menciptakan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan. (Ramdhani)